
Satu-satunya pulau kecil terluar berpenduduk di Kepulauan Aru, Pulau Penambulai, Maluku, kini menghadapi ancaman nyata dari abrasi pantai yang terus menggerus wilayah daratan. (Foto: Asdep Pengelolaan Batas Negara Wilayah Laut dan Udara BNPP RI)
JAKARTA — Satu-satunya pulau kecil terluar berpenduduk di Kepulauan Aru, Pulau Penambulai, kini menghadapi ancaman nyata dari abrasi pantai yang terus menggerus wilayah daratan. Terletak di Desa Warabal, Kecamatan Aru Tengah Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Pulau Penambulai menjadi bagian penting dalam penguatan batas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengingat posisinya yang berbatasan langsung dengan perairan Australia.
Pulau Penambulai merupakan satu dari delapan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) di Kepulauan Aru yang menjadi titik referensi dalam penarikan garis pangkal batas negara.
Namun, meski memiliki peran yang strategis, aksesibilitas menuju pulau ini sangat terbatas. Tidak ada jalur transportasi reguler dari ibu kota kabupaten, Dobo, ke Desa Warabal. Masyarakat hanya dapat mengandalkan speed boat sewaan dengan waktu tempuh 6-7 jam, atau menggunakan perahu kecil tradisional ‘katinting’ untuk keperluan sehari-hari.
Sebagian besar warga Pulau Penambulai menggantungkan hidup dari sektor kelautan, seperti menangkap ikan dan membudidayakan rumput laut. Namun, abrasi yang semakin parah membuat aktivitas ekonomi warga terganggu.
Bahkan terjangan air laut mulai merambah hingga ke permukiman warga, khususnya saat gelombang pasang tertinggi yang biasa terjadi antara Mei hingga Agustus. Berdasarkan temuan dari kunjungan kerja yang dilakukan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) RI pada Juni 2024, tercatat sedikitnya 20 rumah warga mengalami kerusakan akibat abrasi pada tahun 2022.
“Kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya berdampak pada hunian, tetapi juga pada keberlangsungan infrastruktur dasar, aktivitas pendidikan, ekonomi, dan logistik. Jika tidak segera ditangani, abrasi dikhawatirkan akan terus menggerus daratan dan mengancam keberadaan pulau dalam jangka panjang,” ujar Asdep Pengelolaan Batas Negara Wilayah Laut dan Udara BNPP, Siti Metrianda Akuan, Selasa (15/7/2025).
Lebih dari itu, lanjut Siti Metrianda Akuan, eksistensi masyarakat yang telah menetap secara turun-temurun di pulau ini juga berada dalam kondisi yang genting. “Pemerintah Desa Warabal dan warga setempat telah menyuarakan harapan mereka akan bantuan nyata dari pemerintah pusat,” jelasnya.
Menurut Siti Metrianda Akuan, salah satu solusi mendesak yang saat ini dibutuhkan adalah pembangunan infrastruktur pengaman pantai seperti tanggul dan pemecah gelombang (breakwater). “Sayangnya, tanggul yang saat ini ada telah mengalami kerusakan parah dan tidak lagi efektif menahan kekuatan gelombang laut yang kian intens,” cetusnya.
Dalam konteks menjaga keutuhan wilayah perbatasan, sambung Siti Metrianda Akuan, Pulau Penambulai membutuhkan intervensi segera dan berkelanjutan. Keberadaan pulau-pulau kecil terluar seperti Penambulai ini bukan hanya soal penghidupan masyarakat lokal, tetapi juga menyangkut ketahanan dan kedaulatan negara. “Karena itu, langkah-langkah mitigasi abrasi perlu menjadi prioritas dalam strategi nasional pengelolaan wilayah perbatasan,” tegasnya.
Siti Metrianda Akuan menambahkan, BNPP RI mendorong sinergi antarkementerian dan lembaga untuk segera mempercepat penanganan abrasi di PPKT. “Beberapa bentuk intervensi yang dibutuhkan antara lain pembangunan tanggul pantai, rehabilitasi vegetasi pesisir, dan peningkatan sarana transportasi untuk menjamin aksesibilitas dan keberlangsungan hidup masyarakat,” ujar dia.
Langkah penanganan abrasi di Pulau Penambulai, lanjut Siti Metrianda Akuan, akan menjadi bukti nyata bahwa negara hadir melindungi setiap jengkal tanah air dan seluruh warganya, termasuk yang berada di ujung terluar Indonesia. “Upaya ini sekaligus memperkuat komitmen BNPP RI dalam menjaga batas wilayah dan memastikan pembangunan yang inklusif di wilayah 3T Terdepan, Terluar, dan Tertinggal,” pungkasnya.
(***)